Home » » Terjemah Alquran Tak Sepopuler Tafsir

Terjemah Alquran Tak Sepopuler Tafsir

Oleh Nashih Nashrullah

Gerakan penerjemahan Alquran ke bahasa daerah, belakangan marak dilakukan. Paling anyar, ialah penerbitan terjemah Alquran yang memakai bahasa Madura. Upaya ini pantas mendapat acungan jempol. Bahkan penghargaan yang luar biasa. Tak gampang menerbitkan karya yang mengangkat lokalitas suatu daerah. Tingkat kesulitannya sangat kompleks
   
Seorang mutarjim (penerjemah), harus dihadapkan minimal dua hal sekaligus. Mencari makna yang tepat bagi sebuah ayat. Dan tentunya, mencari padanan bahasa lokal. Kesulitan ini, belum ditambah dengan tergerusnya bahasa-bahasa daerah dari peredaran. Kondisi semacam ini mengantarkan pada hipotesa bahwa terjemah harfiah, lebih sulit dibanding tafsir. Ruang lingkup terjemah harfiah, sangat terbatas. Berbeda dengan tafsir.
   
Imam as-Syathibi, mengatakan dalam kitab al-Muwafaqat, bahasa Arab memang unik. Ada bentuk makna denotatif dalalah ashliyah. Kata ini, bisa dipahami dengan mudah begitu juga mencari padanannya di bahasa lain.
   
Ada pula kata dari bahasa Arab yang memiliki makna sekunder. Kategori ini lebih sulit. Karena, untuk memahaminya, harus merujuk kepada karakter bahasa itu sendiri. Inilah, alasan,  mengapa,  terjemah harfiah harus didukung dengan tafsir. 
   
Fakta ini pulalah yang digarisbawahi oleh al-Maraghi dalam karyanya berjudul  Bahtsun fi Tarjamat Alquran al-Karim wa Ahkamiha. Menurutnya, mungkin saja menafsirkan Alquran secara harfiah di banyak ayat. Kemungkinan yang sama juga berlaku kebalikannya. Ada banyak ayat yang tak mungkin di tafsirkan  tekstual. 
   
Dalam kasus ini, bisa kita contoh terjemah Alquran bahasa Jawa. Misalnya, pada ayat keempat surah al-Fatihah. Ada banyak padanan untuk mewakili kata maliki yaumiddin. Prof KH R Muhammad Adnan dalam karyanya yang berbahasa Jawa: Tafsir Al-Qur’an Suci, lebih memilih kata ngratoni yang berarti merajai, ketimbang kata nggadahi yang bermakna memiliki. Keduanya, sama-sama dibenarkan. Ini lantaran, sejumlah kata bahasa Arab, mengandung unsur musytarak.
   
Segudang kesulitan inilah, yang menjadikan gerakan penerjemahan Alquran ke bahasa daerah tidak sedinamis tafsir Alquran dalam bahasa melayu ataupun Indonesia. Penerjemahan Alquran ke dalam bahasa daerah, disebut-sebut muncul  setelah RA Kartini meminta Kiai Darat mengalihbahasakan Kitab Suci tersebut ke bahasa Jawa. Itu terjadi pada 1894.
   
Berbeda dengan tafsir. Kitab Turjamanul Mustafid Abdulrauf Singkel ( 1615-1690), didaulat sebagai kitab tafsir pertama yang ditulis dengan bahasa Melayu. Kitab ini sangat fenomenal dan monumental.
Tak hanya di kalangan dalam negeri, tetapi sangat dihargai ulama mancanegara. Referensi utama yang ia rujuk ialah  tafsir al-Jalalain, Anwaru at-Tanzil wa Asrar at-Takwil karya al-Baidhawi, dan tafsir al-Khazin.
   
Di era modern, muncul banyak kitab tafsir: al-Furqan fi Tafsir al-Quran karya A Hassan, Tafsir Hibarna besutan Iskandar Idris,  Prof Mahmud Yunus dengan Tafsir Qur’an Karim, Buya Hamka melalui karya monumentalnya Tafsir al-Azhar, ataupun Tafsir al-Nur oleh Hasbi Hasbi ash-Shiddiqi. Tafsir yang dinilai memiliki ‘ruang’ yang lebih terbuka juga mendorong karya-karya aktual yang berkualitas, Tafsir al-Mishbah, karangan Prof Quraish Shihab, misalnya.
   
Penerjamahan Alquran ke dalam bahasa daerah saat ini, memang memerlukan kerja ekstra keras. Sederet pertimbangan pun akan muncul. Tingkat kebutuhan terhadap terjemah Alquran bahasa  daerah kini, tak begitu diminati.
   
Dunia akademis, tentu akan lebih merekomendasikan penggunaan terjemah bahasa Indonesia. Di kalangan awam, apalagi. Ketertarikan terhadap bahasa daerah kian redup. Akibatnya, konsumsi terjemah Alquran bahasa daerah, segmentasinya sangat terbatas. 
   
Permasalahan lain, soal sumber daya manusia. Ini menyangkut koreksi terjemah tersebut. Sejauhmana tingkat akurasi kesesuaiannya, paling tidak bahasa daerah tersebut mampu mewakili maksud dari lafal yang ada pada Alquran. Dan, ini sulit. Kerja tim pun, belum tentu maksimal.
   
Tingkat kesukaran inilah yang menyebabkan karya terjemah Alquran berbahasa daerah manapun—baik hasil karya individu atau kolektif—selalu tak populer. Ini bila dibandingkan dengan karya tafsir klasik ataupun kontemporer yang ditulis ulama lokal.


Sumber: ROL

0 comments:

Post a Comment